Saat Vaksin Jadi Kontroversi – Antara Sains, Kepercayaan Publik, dan Transparansi

Oleh: Paulinus Teensian Mangko

IWARAINFO.BLOGSPOT.COM — Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menanggapi penolakan uji coba vaksin Tuberkulosis (TBC) di Indonesia mengungkap lapisan-lapisan persoalan yang jauh lebih dalam dari sekadar pro-kontra vaksinasi. Pernyataan Menkes bahwa “vaksinasi imunisasi tuh teman, bukan musuh” memang terdengar menenangkan dan selaras dengan prinsip kesehatan publik. Namun, apakah pendekatan komunikasi pemerintah selama ini telah cukup meyakinkan publik? Atau justru, ketidakjelasan dan minimnya transparansi justru memperkuat resistensi?

Narasi: Antara Kepentingan Global dan Kepentingan Nasional

Indonesia, sebagai negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia setelah India, tentu menjadi lokasi strategis untuk pengembangan vaksin baru. Tapi di balik urgensi medis ini, publik mempertanyakan: mengapa Indonesia? Siapa yang menginisiasi kerja sama uji coba ini? Bagaimana etika penelitian dijaga agar masyarakat tak sekadar jadi objek eksperimen?

Di sinilah seharusnya peran negara menjadi lebih dari sekadar juru bicara sains. Negara harus menjadi pelindung hak dan martabat warganya. Ketika masyarakat menolak, bukan semata karena anti-vaksin atau anti-sains, melainkan karena trauma kolektif terhadap kebijakan kesehatan yang kerap tidak melibatkan mereka sebagai subjek yang berdaulat.

Investigasi: Transparansi yang Tertunda

Berulang kali, pemerintah menyerukan pentingnya vaksinasi, tetapi kerap gagal menyajikan informasi yang terbuka dan mendalam tentang proses uji klinis. Siapa mitra riset internasional yang terlibat? Bagaimana uji coba ini diatur dalam konteks etika? Apakah ada kompensasi atau perlindungan hukum bagi relawan?

Banyak pertanyaan itu tak dijawab secara terbuka. Ironisnya, saat publik ragu, yang muncul adalah narasi pembenaran, bukan dialog. Pemerintah perlu menyadari bahwa literasi kesehatan tak bisa dibangun dengan pendekatan top-down yang mengasumsikan masyarakat selalu salah informasi. Sebaliknya, transparansi adalah jalan satu-satunya untuk membangun kepercayaan.

Kritikan: Komunikasi Publik yang Cacat

Pernyataan Menkes di Gedung DPR mungkin dimaksudkan untuk meredam polemik, tetapi gaya penyampaiannya justru bisa dianggap meremehkan kekhawatiran publik. Frasa seperti “proven by data, by science” memang kuat di ruang akademik, tetapi tidak serta-merta menyelesaikan ketidakpercayaan publik yang tumbuh dari sejarah panjang ketimpangan informasi dan pengalaman kebijakan kesehatan yang problematik.

Kritik utamanya adalah lemahnya pendekatan humanis dalam komunikasi kesehatan. Saat publik bertanya, jangan langsung diberi data, beri mereka ruang dialog. Penolakan bukan berarti kebodohan, tapi bisa jadi sinyal penting bahwa komunikasi pemerintah perlu dievaluasi total.

Vaksin adalah hasil peradaban, bukan alat dominasi. Namun, agar ia diterima, kepercayaan adalah fondasinya. Pemerintah Indonesia perlu belajar bahwa kepercayaan tak bisa dibangun hanya dengan menyebut “sains dan data”. Ia harus dirawat melalui transparansi, partisipasi, dan penghormatan terhadap aspirasi warga. Tanpa itu, setiap upaya kemanusiaan, termasuk vaksinasi, bisa berubah jadi bumerang sosial yang justru merusak niat baiknya sendiri.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Timur Gelar Acara Perpisahan Honorer Lulus PPPK dan Penyambutan ASN Baru

Relawan Barito Timur, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Selalu Siaga Menolong Sesama

Kemenkes Terbitkan Edaran Waspada Kenaikan Kasus COVID-19 Asia, Indonesia Diminta Siaga