Ketika Beban Fiskal Dialihkan ke Daerah: Antara Efisiensi dan Keadilan
Saya bukan seorang ekonom. Pendidikan saya pun bukan sarjana ekonomi. Namun, sedikit banyak saya memahami seluk-beluk tata kelola keuangan, terutama setelah mendapat kesempatan belajar tentang pengelolaan keuangan di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2011 dalam program Kursus Keuangan Daerah (KKD) yang bekerjasama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Dari bekal itulah saya mencoba memberikan pandangan sederhana mengenai dinamika kebijakan fiskal yang belakangan ramai diperbincangkan.
Belakangan ini, pemerintah pusat melakukan pemotongan dana transfer ke daerah. Artinya, daerah mendapat porsi anggaran yang lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya. Untuk menutup kebutuhan program, daerah kemudian “dipaksa” mencari sumber pembiayaan sendiri, salah satunya melalui peningkatan pajak dan retribusi daerah.
Masalahnya, langkah ini tidak jarang menimbulkan keberatan dari masyarakat. Kita bisa melihat contoh nyata di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana kebijakan penaikan pajak yang dianggap tidak wajar telah memicu gelombang protes. Masyarakat merasa terbebani, padahal mereka juga menghadapi tekanan ekonomi dari sisi harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya.
Dari sudut pandang fiskal, tujuan pemerintah pusat memang bisa dipahami. Salah satunya adalah menjaga keseimbangan makroekonomi, termasuk menekan laju inflasi. Namun, jika caranya dengan mengurangi transfer ke daerah tanpa diimbangi dengan efisiensi di tingkat pusat, hal ini justru menimbulkan ketidakadilan. Daerah yang seharusnya lebih dekat dengan masyarakat kini harus menghadapi tekanan tambahan, sementara belanja pemerintah pusat justru terus meningkat.
Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal yang lebih tepat seharusnya diarahkan pada tiga hal utama:
1. Efisiensi Anggaran Pusat
Pemerintah pusat perlu berani memilah program dan belanja yang benar-benar prioritas dengan yang sifatnya mubazir atau seremonial. Kegiatan yang tidak memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat semestinya dihentikan. Dengan begitu, ruang fiskal bisa diperbesar tanpa harus mengurangi hak daerah.
2. Kolaborasi dan Keadilan Fiskal
Transfer ke daerah semestinya tidak dilihat sebagai “beban”, melainkan sebagai bentuk distribusi fiskal yang adil. Daerah memiliki kebutuhan riil yang berbeda-beda, mulai dari infrastruktur dasar, layanan kesehatan, pendidikan, hingga pemberdayaan ekonomi lokal. Memotong anggaran daerah lalu meminta mereka menaikkan pajak sama saja dengan menggeser beban dari pusat ke masyarakat.
3. Optimalisasi Sumber Penerimaan Tanpa Membebani Rakyat
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, bisa menggali sumber penerimaan lain seperti perbaikan tata kelola BUMD, peningkatan efektivitas pajak dari sektor usaha besar, atau mendorong investasi yang sehat. Jangan sampai masyarakat kecil yang justru paling merasakan beban kenaikan pajak.
Kebijakan fiskal yang sehat bukan hanya soal menjaga angka defisit atau inflasi. Lebih dari itu, ia menyangkut rasa keadilan dan keberpihakan. Masyarakat berhak merasakan bahwa kebijakan negara hadir untuk meringankan, bukan menambah beban.
Saya menulis ini bukan dalam kapasitas sebagai pakar ekonomi, melainkan sebagai warga negara sekaligus aparatur sipil yang ikut merasakan dinamika kebijakan fiskal. Harapan saya sederhana: semoga pemerintah pusat lebih arif dalam mengelola fiskal, dengan tidak hanya memikirkan keseimbangan makro, tetapi juga dampak langsung pada daerah dan masyarakatnya. (PTM)

Komentar
Posting Komentar