Likuiditas 200 Triliun: Harapan Pertumbuhan Ekonomi dan Tantangan di Lapangan
Oleh: Paulinus Teensian Mangko
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sangat optimistis perekonomian Indonesia akan tumbuh dalam beberapa bulan ke depan. Salah satu langkah yang ditempuh adalah menarik dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk ditempatkan di bank-bank milik negara (Himbara).
Dana tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma. Bank penerima dana harus membayar bunga, sehingga mau tidak mau mereka terdorong untuk segera menyalurkan uang itu dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Jika dibiarkan mengendap, bank justru menanggung kerugian karena harus membayar bunga tanpa ada pemasukan dari penyaluran kredit. Strategi ini, secara teori, cukup efektif untuk “memaksa” bank lebih agresif mengucurkan pinjaman.
Tujuannya jelas: agar uang bisa bergerak di masyarakat, mendorong sektor riil barang dan jasa, dan pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Namun, situasi di lapangan sering tidak seindah teori. Tidak sedikit masyarakat yang mengajukan pinjaman dengan proposal usaha—seperti bengkel, ternak ayam, kolam ikan, atau usaha lain. Sayangnya, sebagian proposal itu hanya kamuflase. Ada peminjam yang sekadar meminjam foto milik orang lain untuk dilampirkan di proposal. Begitu kredit cair, dana justru dipakai untuk keperluan konsumtif, bukan untuk mengembangkan usaha.
Inilah risiko nyata yang sering tidak terlihat dari balik meja kebijakan. Jika bank terlalu longgar menyalurkan kredit hanya demi mempercepat penyerapan dana, besar kemungkinan tujuan pemerintah akan meleset. Alih-alih menggerakkan sektor riil, dana Rp200 triliun itu justru habis untuk konsumsi sesaat tanpa menciptakan nilai tambah jangka panjang.
Analisis Dampak
1. Potensi Positif:
Jika benar-benar tersalurkan ke sektor riil, dana tersebut bisa menjadi motor baru bagi UMKM dan usaha produktif.
Bank akan lebih aktif mencari nasabah produktif, bukan hanya bermain di instrumen keuangan.
Peredaran uang di masyarakat bisa meningkatkan daya beli dan menciptakan lapangan kerja.
2. Potensi Negatif:
Penyalahgunaan kredit oleh peminjam yang tidak jujur membuat dana tidak produktif.
Jika banyak kredit macet, bank bisa terbebani, bahkan menahan diri di periode berikutnya.
Tujuan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan bisa gagal jika dana hanya “mutar” di konsumsi tanpa menciptakan usaha baru.
Agar kebijakan ini berjalan sesuai harapan, ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:
1. Pengawasan Lapangan yang Ketat
Bank penerima dana perlu memperkuat verifikasi lapangan. Jangan hanya percaya pada proposal di atas kertas, tetapi cek langsung apakah calon peminjam benar-benar memiliki usaha yang dimaksud.
2. Pendampingan dan Edukasi
Bukan hanya soal pinjam-meminjam, masyarakat juga butuh pendampingan agar dana benar-benar dikelola secara produktif. Misalnya, melalui pelatihan manajemen usaha, pengelolaan keuangan, dan strategi pemasaran.
3. Penerapan Sistem Bertahap
Kredit bisa dicairkan secara bertahap sesuai perkembangan usaha. Dengan begitu, dana tidak langsung habis untuk konsumsi, tetapi benar-benar digunakan sesuai kebutuhan usaha.
4. Ketegasan Pemerintah
Menteri Keuangan perlu memastikan bank tidak “mengalihkan” dana Rp200 triliun itu ke instrumen pasif seperti surat berharga. Uang harus mengalir ke masyarakat agar ekonomi bergerak.
Langkah Menteri Keuangan Purbaya patut diapresiasi karena berorientasi pada penguatan sektor riil. Namun, optimisme kebijakan ini harus dibarengi dengan kewaspadaan di lapangan. Tanpa pengawasan ketat dan pemanfaatan yang tepat, niat baik pemerintah bisa berbalik menjadi beban baru.
Dengan kerja sama antara pemerintah, perbankan, dan masyarakat, dana Rp200 triliun itu dapat benar-benar menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, bukan sekadar angka di neraca keuangan. (PTM)

Komentar
Posting Komentar