Purbaya vs Sri Mulyani: Dua Wajah Menteri Keuangan, Dua Gaya Mengelola Ekonomi
Oleh: Paulinus Teensian Mangko
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tampil dengan gaya berbeda. Ia melontarkan kritik terbuka kepada para direktur utama bank-bank BUMN yang menurutnya terlalu nyaman, malas berpikir kreatif, dan lebih senang bermain aman. Bahkan, dengan nada satir, ia menyebut para bankir mungkin lebih sering menghabiskan Sabtu-Minggu di lapangan golf ketimbang memutar otak mencari terobosan pembiayaan.
Kritik itu muncul setelah pemerintah menggelontorkan dana Rp200 triliun dalam bentuk deposito ke bank-bank pelat merah. Harapannya sederhana: dengan dana murah ini, bank akan lebih agresif menyalurkan kredit ke sektor produktif, mendorong proyek unggulan pemerintah, dan pada akhirnya menumbuhkan ekonomi.
Di atas kertas, logika Purbaya tampak mulus. Namun, realitas ekonomi tidak sesederhana itu. Jika memang mudah, tentu sudah lama dilakukan oleh pendahulunya, Sri Mulyani, yang justru dikenal sangat berhati-hati dan realistis dalam mengelola fiskal maupun kebijakan perbankan.
Mengapa Tidak Semudah Bayangan Purbaya?
1. Permintaan Kredit Tidak Bisa Dipaksa
Bank bisa saja kelebihan dana, tapi tanpa permintaan kredit yang sehat dari dunia usaha, uang itu hanya akan mengendap. Dunia usaha saat ini masih menghadapi ketidakpastian global, biaya produksi tinggi, dan pasar yang belum sepenuhnya pulih. Sri Mulyani paham bahwa “menyiram” uang ke bank bukan jaminan kredit akan terserap.
2. Risiko Kredit Macet
Bankir tidak bisa hanya berpikir soal “dorongan pemerintah”. Setiap rupiah kredit yang disalurkan harus memperhitungkan risiko gagal bayar. Ketika proyek bermasalah, yang menanggung dampak bukan hanya bank, tapi juga stabilitas keuangan nasional. Sri Mulyani kerap menekankan kehati-hatian ini, karena ia tahu krisis finansial bisa lahir dari kredit macet massal.
3. Proyek Produktif Tidak Instan
Purbaya membayangkan bank tinggal mencari proyek produktif. Faktanya, proyek aman dan layak pembiayaan tidak muncul setiap saat. Banyak proyek butuh waktu panjang: studi kelayakan, izin, kepastian pasar. Dorongan agresif tanpa basis kelayakan justru bisa membuat bank “terjebak” pada proyek bermasalah.
4. Keterikatan Regulasi
OJK dan BI tetap menuntut bank menjaga rasio permodalan, NPL (non-performing loan), dan standar kehati-hatian lainnya. Bank BUMN tidak bisa semata-mata mengikuti arahan politis pemerintah, karena ada pagar regulasi yang membatasi ruang gerak.
Sri Mulyani dikenal dengan gaya teknokrat yang disiplin fiskal. Ia sering dikritik terlalu hati-hati, tetapi sikap itu berangkat dari pengalaman panjang menghadapi krisis 1998 dan turbulensi global. Baginya, menjaga kepercayaan pasar dan stabilitas keuangan jauh lebih penting ketimbang sekadar mengejar pertumbuhan instan.
Purbaya sebaliknya tampil lebih berani, bahkan cenderung populis. Dengan retorika keras, ia ingin mengguncang zona nyaman bankir. Namun, pendekatan “paksa kreatif” ini riskan jika tidak dibarengi dengan pemetaan realistis atas kondisi dunia usaha.
Sri Mulyani mungkin tidak menabuh genderang sekeras Purbaya, tetapi ia tahu bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah hasil dari sekadar menyuntik dana. Ia lebih memilih jalur panjang: reformasi struktural, insentif fiskal terukur, dan menjaga defisit tetap sehat.
Kritik Purbaya terhadap bank BUMN memang menyegarkan, tapi di balik retorika itu ada risiko besar. Dunia nyata perbankan jauh lebih kompleks dari sekadar metafora “berhenti bermain golf dan mulai berpikir”. Jika suntikan Rp200 triliun bisa otomatis menumbuhkan ekonomi, Sri Mulyani tentu sudah melakukannya sejak lama.
Perbedaan keduanya jelas: Sri Mulyani adalah arsitek kehati-hatian, sedangkan Purbaya mencoba tampil sebagai provokator perubahan. Pertanyaannya, apakah guncangan ala Purbaya akan benar-benar menghasilkan pertumbuhan, atau justru membuka pintu risiko baru?. (PTM)

Komentar
Posting Komentar