GAYA BARU MENTERI KEUANGAN?
Oleh: Paulinus Teensian Mangko
Sentralisasi Fiskal, Pertarungan Anggaran, dan Masa Depan Otonomi Daerah
Indonesia sedang berada di tengah pertarungan besar soal hal yang paling menentukan jalannya pemerintahan: uang negara. Pemerintah pusat kini mendorong ambisi besar untuk menjalankan program prioritas nasional, sementara pemerintah daerah berjuang agar layanan publik dasar tetap hidup. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika muncul kontroversi besar mengenai pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD). Situasinya begitu serius hingga seorang gubernur – Gubernur Jambi, Al Haris – harus berkata langsung kepada Kementerian Keuangan, “Kalau Dana Transfer dipotong, daerah bisa lumpuh, Pak Menteri.” Pernyataan itu bukan sekadar keluhan, tetapi sinyal bahaya yang mewakili keresahan banyak pimpinan daerah. Bahkan, 18 gubernur datang bersama ke Kemenkeu untuk menyampaikan protes kolektif. Aksi sebesar ini jarang terjadi dan menunjukkan betapa genting persoalan yang sedang dihadapi.
Sumber konflik utamanya adalah TKD, yang sederhana dapat diibaratkan sebagai “uang jajan” dari pusat untuk daerah. Namun bagi daerah, ini bukan uang tambahan. Di banyak provinsi, dana ini menjadi 70 hingga 80 persen dari keseluruhan APBD, sehingga tanpa TKD roda pemerintahan nyaris tak bisa bergerak. Pemerintah pusat mengusulkan pemangkasan tajam dari sekitar Rp920 triliun pada 2025 menjadi hanya sekitar Rp693 triliun pada 2026. Pemotongan lebih dari Rp200 triliun dalam satu tahun tentu membuat daerah panik dan merasa masa depan layanan publik mereka berada di ujung tanduk.
Dari sudut pandang pemerintah pusat, pemangkasan ini bukan keputusan tiba-tiba. Akar kebijakan ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang memerintahkan efisiensi anggaran nasional. Tiga alasan utama dikemukakan: meningkatkan disiplin fiskal, meningkatkan efisiensi belanja, dan mengalokasikan dana untuk prioritas nasional. Alasan ketiga menjadi yang paling menentukan, yaitu kebutuhan pendanaan untuk program besar “Makan Bergizi Gratis” (MBG), program andalan presiden terpilih yang membutuhkan sekitar Rp335 triliun setiap tahun. Untuk memenuhi kebutuhan dana sebesar itu, pemerintah harus melakukan penyesuaian besar di pos-pos lain, termasuk TKD. Kondisi semakin rumit karena penerimaan pajak di awal tahun justru menurun, sehingga pemerintah menghadapi situasi pengeluaran besar tetapi pemasukan terancam.
Di saat pusat harus melaksanakan visi nasional jangka panjang, pemerintah daerah justru bergulat agar layanan dasar tetap berjalan. Banyak daerah menyampaikan keresahan, termasuk terkait dampak pemotongan terhadap pembayaran gaji pegawai. Gubernur Sumatera Barat, misalnya, menyoroti ironi kebijakan: daerah diminta pusat mengangkat PPPK untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, tetapi saat formasi sudah diangkat, dana untuk membayar gaji justru dipotong. Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi persoalan nasib ribuan keluarga yang bergantung pada stabilitas keuangan daerah.
Akar masalah lebih dalam yang membuat situasi ini kritis adalah tingginya tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Rata-rata daerah hanya mampu menghasilkan sekitar 24 persen pendapatan asli daerahnya, sedangkan 76 persen sisanya berasal dari transfer pemerintah pusat. Ketergantungan ini membuat daerah rapuh dan mudah terguncang oleh kebijakan fiskal pusat, betapapun mendadaknya kebijakan tersebut muncul. Sejumlah pengamat, termasuk Prof. Johermansyah Johan, menyebut kondisi ini sebagai bentuk “sentralisasi gaya baru.” Setelah bertahun-tahun Indonesia mendorong desentralisasi dan memperkuat otonomi daerah, kini keputusan fiskal kembali terpusat di Jakarta melalui kendali anggaran.
Pemerintah pusat memang telah melakukan pemangkasan anggaran internal, mulai dari perjalanan dinas, acara seremonial, hingga pengadaan alat tulis kantor. Namun di saat yang sama, jumlah kementerian dalam kabinet justru bertambah, memunculkan kesan kontradiktif. Publik melihat adanya standar ganda – daerah dan masyarakat diminta berhemat, tetapi struktur kekuasaan di pusat tampak semakin gemuk.
Jika pemangkasan terhadap daerah dilakukan terlalu ekstrem, dampaknya bisa meluas menjadi bumerang bagi ekonomi nasional. Infrastruktur bisa terhenti, layanan publik terancam, belanja pegawai tersendat, dan perputaran ekonomi daerah melambat. Kondisi ini pada akhirnya bisa menghambat ambisi pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029. Penghematan yang terlalu agresif di daerah dapat menahan laju pertumbuhan seluruh negeri.
Pada akhirnya, Indonesia sedang menghadapi benturan antara visi nasional berskala besar dan kebutuhan nyata di tingkat lokal. Keduanya sama-sama penting, tetapi saat ini tampaknya keduanya sulit berjalan bersamaan tanpa pendekatan yang lebih seimbang dan dialog yang lebih intens antara pusat dan daerah. Pertarungan ini bukan hanya soal angka dalam APBN atau APBD, melainkan soal arah masa depan otonomi daerah dan kualitas layanan publik yang akan diterima masyarakat. Pertanyaan yang kini muncul adalah: ke mana Indonesia akan melangkah – menuju penguatan otonomi daerah, atau kembali ke sentralisasi kekuasaan fiskal?. (PTM)

Komentar
Posting Komentar